Schizofrenia adalah gangguan mental yang dapat mempengaruhi emosi, tingkah laku dan komunikasi. Di dunia menurut data WHO terdapat 20 juta orang mengalami penyakit schizophrenia. Sedang di Indonesia menurut data tahun 2019 terdapat 450.000 orang mengalami gangguan jiwa yang di dalamnya termasuk schizofrenia. Mendeteksi awal dan penanganan yang tepat terhadap orang yang mengalaminya akan menolong penderita.
Orang yang mengalami schizophrenia bisa dalam bentuk halusinasi, delusi (tidak dapat membedakan kenyataan dan imajinasi), cemas berlebihan, kekacauan berpikir dan gangguan perilaku.
Bagi anggota keluarga dekat di mana jika salah satu keluarganya mengalami gejala penyakit ini bisa menimbulkan berbagai tanggapan. Kemasukan jin, kesambet di suatu tempat, kaget tidak mengerti, bisa dianggap diguna-guna, orangnya dianggap kurang iman, sudah melakukan dosa, dan sederetan penafsiran lainnya sesuai dengan cara berpikir dan pengalaman hidup serta lingkungannya.
Tulisan ini bukan ingin menjelaskan mengenai apa dan bagaimana mengatasi schizofrenia dari segi medis atau penanganan, tapi tulisan ini sebagai pengalaman sebagai caregiver (mengasuh) yang memiliki pengalaman bagaimana menemani dan mengasuh salah satu anggota keluarga (anak) yang mengalami schizofrenia.
Sebelum memasuki umur 15 tahun anak saya hampir tidak memiliki gejala-gejala yang bisa dilihat secara langsung adanya perubahan-perubahan aneh. Semuanya berjalan dengan normal. Hanya saja ketika SMP kelas 1 ia mengalami tidak naik kelas di sebuah sekolah favorit.
Buta dan tidak mengerti dengan gangguan jiwa dan schizofrenia menjadikan keanehan-keanehan yang dilakukan anak saya membuat saya lebih banyak menghubungkan dengan gangguan iblis, setan dan semacamnya.
Sebenarnya keanehan-keanehan yang saya anggap sebagai anak yang akan memasuki masa-masa remaja. Kritis, memberontak kepada orang tua, apatis, sering menyendiri di kamar dan enggan bergaul dengan orang lain termasuk saudaranya sendiri, gejala-gejala itulah yang awalnya muncul. Bahkan lebih mengherankan lagi adalah sering kamarnya gelap tanpa lampu, sementara ia tiduran dan rebahan.
Terkadang dia merasa telinganya seperti kesakitan. Kemudian kami mencoba membawa ke dokter THT ternyata tidak ada masalah dengan telinga. Di kemudian hari baru ketahuan bahwa dia sedang mendengarkan dan menyimak ada suara yang ia dengarkan.
Tapi sebenarnya anak saya kedua yang mengalami gangguan schizofrenia ini sejak kecil memiliki keanehan tersendiri. Walaupun saya tidak tahu apakah ini menjadi penanda awal, tapi keanehan tersebut sangat terasa. Ketika kecil ia sering memiliki bahasa sendiri untuk meyebut sebuah benda. Tapi kala itu malah menjadi tertawaan banyak orang yang mendengarnya. Contohnya, untuk menyebut komputer dengan nama komputer seperti kita dengar, tapi dia menggunakan bahasa one.
Hal lainnya adalah ketika masuk taman kanak-kanak, dia kurang berani untuk tampil di depan kelas. Dan bahkan untuk sekolahpun dia harus ditunggui karena merasa takut. Mungkin hingga tiga bulan saya harus menemani.
Sekali lagi, apakah itu sebagai penanda awal, atau itu hanya kebetulan? Tentu para ahli yang mengetahui. Saya hanya berusaha untuk mengingat semua 'keanehan' awal itu, walaupun tentu saya anggap semuanya itu sesuatu yang wajar.
Tapi yang paling mengagetkan adalah, pengakuannya memiliki pengalaman mendapat bullyan baik ketika TK, SD dan SMP tidak bisa dilupakannya dan membentuknya sebagai orang yang selalu negatif kepada setiap orang.
BACA JUGA:
Tidak ada komentar: